Friday, February 10, 2017

Bagaikan Halte Bis

Saat itu pagi yang cerah, tak ada awan yang menahan sinar matahari. Aku hanya berlindung Di bawah daun-daun pohon dibawah halte bis. Atapnya terbuat dari plastik yang menyerap panas, jika bukan karena daun-daun pohon ini aku bisa tersengat sinar matahari. Gerah dan panas kurasakan, seakan-akan ini menandakan bahwa hari ini adalah hari yang buruk. Aku membuka kancing baju atasku, dan dengan bermodalkan buku untuk membuat angin agar menahan laju keringat yang tidak bisa lagi ku bendung. Hari ini hari yang padat, mobil dan motor meramaikan hiruk pikuk kota. Seperti tidak ada yang memperdulikanku menunggu di tepi jalan dan berharap jemputanku datang cepat.

Perlahan2 seorang gadis menghampiriku, berambut panjang, kulit putih, dan tinggi hampir sama denganku duduk diseberang kursi. Celana jeans biru dan baju polo merah yang dia kenakan terlihat casual dengan warna yang sudah tidak baru lagi, menandakan ia sangat menyukai pakaian itu dan terus memakainya. Tatapan matanya sangat tajam, seakan-akan membuat orang takut untuk melihat. Dia adalah gadis yang kuat, tegar dari penampilannya dan ia tidak menghiraukan teriknya matahari yang ada diseberang kursi. Aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh, seraya membuka air mineral dingin yang aku punya. Hari itu merupakan hari yang sangat terik, panas dan kering kalau bukan daun-daun yang menutupi halte bis mungkin aku bisa mati dehidrasi.

Beberapa saat kemudian ia menghampiriku, untuk duduk didekatku dibawah daun-daun yang menutupi. Tidak bisa dipungkiri hari ini memang hari yang berat, aku mempersilahkan satu kusi kosong didekatku dibawah daun-daun pohon yang rindang. Cahaya matahari memaksa masuk dari celah dedaunan, tapi tidak cukup untuk membuatku kembali berkeringat.

Kami hanya duduk diam, saling mencuri2 pandang satu sama lain. Karcis di jepit di mulutnya seraya mengikat rambut dengan karet gelang yang ada di tangan kirinya. "Kiri" itulah arahnya dia pergi, berbeda dengan ku menuju arah “kanan”, dan kami hanya duduk untuk menunggu bis datang.

Kuakui dia gadis yang cuek dan supel, tidak peduli dengan apa yang ada disekitarnya. Dia hanya menatap lurus kedepan dan tidak berpaling kekanan atau kekiri seperti Tidak begitu suka dengan keramaian kota ini. Berita pengumuman pada layar iklan mengusik keheningan kita berdua, Telah terjadi macet total tak jauh dari halte bis yang diperkirakan berlangsung selama 3 jam ke depan. Serentak kami berdua menghelakan nafas, menandakan kami akan terjebak dibawah halte bis dengan suasana yang gerah. Dalam hati aku berkata, bagaimana bisa aku terjebak dengan gadis yang cuek seperti ini dan mungkin perkataan sama juga terbesit di pikirannya.

Matahari semakin lama semakin tinggi, seakan-akan dedaunan pun tidak mampu lagi membendung sinarnya. Tidak ada angin yang berhembus, terik matahari bisa terlihat hawanya pada jalanan didepan kami. Aku kembali membuka air mineral dinginku, untuk mencoba kembali menyegarkanku. Dia hanya menatapku sebentar dan mencoba tidak menghiraukanku, dan berusaha dengan cuek menelan air liurnya sendiri. Dia benar-benar gadis yang memiliki harga diri tinggi, tak mau terlihat lemah di hadapan orang lain.

Aku tau, tak ada satu pun yang sanggup melalui hari ini, kucing pun berusaha mengais-ngais rerumputan dibawah pohon. Berharap ada embun hujan yang masih hinggap di setiap daun rerumputan untuk menghilangkan rasa hausnya. Aku sodorkan air mineral dinginku kepadanya, dan berusaha tidak menatapnya seakan menunjukkan aku juga memiliki harga diri tinggi sama sepertinya. Dia benar-benar gadis yang cuek, kalau bukan rambutnya yang panjang, mungkin aku sudah mengira kalau ia adalah laki-laki dari sikapnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia mengambil air minum dinginku, dan berusaha menyegarkan tenggorokannya. Ia menghela nafas panjang untuk kedua kalinya seakan-akan telah hilang separuh beban hidupnya sambil mengusap butiran-butiran air di bibirnya.

“Terimakasih”, hanya satu kata itu yang terucap dari bibirnya seraya mengembalikan air minumku, aku tidak tau ia menjadi agak sedikit gugup berada di sampingku dan akhirnya botol air mineral itu terlepas darinya dan membasahi sekujur celanaku. Ketika badan panas bertemu dengan air mineral yang dingin ini sangat membuatku terkejut, aku langsung mengangkat kedua kakiku ke udara dan memundurkan sedikit badanku, yang pada akhirnya membuat kepalaku terbentur ke dinding halte bis. Sambil menahan sakit aku mengusap-usap kepalaku yang terbentur cukup keras, dan hanya keheningan yang terjadi diantara kita. Kami berdua terdiam sambil menatap lurus ke depan, dan ia memulai tertawa kecil yang aku ikuti dengan tawa kecil lainnya. Ini mungkin menjadi perkenalan kami yang tidak begitu sempurna.

Satu jam pertama, kami mulai bercerita untuk mengisi kekosongan dan ingin mencairkan suasana, mencoba mencari sedikit kebahagiaan pada keadaan yang cukup berat pada hari ini. Suaranya yang unik, seakan-akan memaksaku untuk terus memperhatikannya, dan dia ternyata tidak secuek dan sekeras yang aku bayangkan. Kami saling bercerita mengenai apa yang terjadi hari ini, dan perlahan-lahan perbincangan mengarah mengenai apa yang kami sukai. Ia suka sekali makan pangsit pada perempatan jalan, dan aku pun mengenal tempat itu dan sangat menyukainya. Kami sama-sama mencintai travelling, walaupun kami tidak mempunyai banyak uang, tapi kami membayangkan berbagai tempat yang layak untuk dikunjungi dengan masing-masing surga di dalamnya.

Kami larut dalam angan-angan, dan saling berandai-andai. Ia menceritakan sepaket perjalanan menuju kota tambang kecil yang terdapat di bagian utara dari kota ini. Dan ia menceritakannya bersama aku di dalamnya. Ceritanya membuat seakan-akan kami sedang berada di sana, menaiki motor beat hitam berdua, membuat bekal untuk perjalanan panjang menuju kota kecil itu. Di sana kami menikmati suasana matahari terbenam diatas bukit sambil menikmati bakso hangat hingga matahari tak dapat kelihatan lagi. Kemudian giliranku untuk berandai-andai menuju kota tak jauh dari kota sebelumnya. Menyewa satu perahu kecil untuk kita berdua dan menuju pulau di tengah laut. Terumbu karang terlihat dibawah kami, dan kami saling membenamkan kedua tangan kami ke air seraya takjub dengan keindahan dibawah laut. perahu kecil ini terus bergoyang-goyang dan kami hanya saling berpegangan tangan untuk menjaga satu sama lainnya. Di sana kami mengabadikan semua kenangan, mengelilingi pulau yang seakan-akan miliki berdua. Aku menggendongnya di pundakku dan terus mengabadikan foto kami di sana.

Angan-angan demi angan-angan berlanjut, membuat perbincangan ini semakin menyenangkan. Berusaha menjauh dari semua kenyataan yang membuat kami lelah tiap harinya. Membayangkan trip ke desa terpencil dan bermain arun jeram, Mengunjungi air terjun di dalam hutan, bersantai di dalam goa, menikmati sosis dari puncak ketinggian, menaiki kereta mengelilingi setiap kota, berenang di sungai di dalam goa, mengunjungi museum, bermain di pasar malam, dan terus hingga membuat kami terlarut di dalamnya sehingga aku tak dapat lagi membedakan mana kenyataan dan mana hanya impian.

Hampir semua yang aku sukai pun ia sukai, dan perbincangan ini sangat menyenangkan ketika seseorang yang tau mengenai berbagai hal yang sama-sama dicintainya. Walaupun ada sedikit perbedaan, aku menyukai film aksi dan ia menyukai film drama, tapi aku perlahan-lahan menyukai film drama dengan mendengarkan cerita darinya, bagaimana film-film itu bagus dimatanya dan aku pun menceritakan film aksi yang menurutku bagus padanya. Ternyata hari ini tidak seberat yang kami bayangkan

Satu jam kedua, kami mulai nyaman satu sama lainnya, kecuekannya yang dulu kukenal kini telah hilang darinya. Kami melakukan hal gila bersama-sama mencoba mengalihkan dunia dan mencari kebahagian kami berdua. Kami menyanyikan lagu yang aneh berdua, berteriak dipinggir jalan berdua, melepaskan dan menumpahkannya semuanya dijalan. Aku mulai bertingkah aneh layaknya anak kecil untuk menghiburnya, dan ia perlihatkan sikap sama padaku. Kami tertawa lepas dan mengacuhkan segalanya, tak peduli apa dan siapa yang menghampiri, kami tetap melakukan apa yang kami sukai. Saat ini kami bertingkah layaknya orang gila berdua, tertawa lepas, dan memutar satu album lagu Sheila on seven pada gadgetku. Aku mulai bertingkah aneh, memanjat pohon sambil menari-nari. Kamera polaroid, ia keluarkan dari ranselnya, kami mengambil gambar bersama dan mengabadikan semuanya dalam gambar.

Satu jam ketiga, semua menjadi lebih indah, semuanya kami hadapi berdua. Tak peduli cuaca panas atau dingin, orang datang dan pergi, kami tidak memperdulikannya. Cuaca mulai mendung, dan rintik-rintik hujan mulai datang. Kami hanya tertawa berdua dan menari dibawah gerimisnya langit. Lagu shelila on seven terulang kembali menjadi lagu awal, menandakan lagu ini telah berulang terus menerus. Aku akui laguku hanya itu-itu saja, tapi kami tidak memperdulikannya dan hanya tertawa. Kami berdansa di bawah gerimisnya hujan, aku memegang tangannya dan pinggangnya, dan ia melakukan hal yang sama. Mata kami saling bertatap tatapan, awalnya dia malu dan tertawa kecil, tapi ia mulai mengikuti iramaku. Untungnya Ia membawa setumpuk kertas kamera, kami mengambil banyak sekali gambar dan kenangan. Kami mulai menghiasnya dihalte bis ini, seakan-akan telah menjadi milik kami berdua. Foto-foto kami, kami biarkan menggantung di langit-langit halte bis, menjuntai kebawah ditahan oleh seutas tali. Kami menulis berbagai macam cita-cita kami di dinding-dinding halte, dan bagaimana masa depan kami yang ingin kami lalui. Aku mengeluarkan kertas wallpaper dari dalam tasku dan menghiasi dinding-dinding halte bis, seakan-akan ini telah menjadi rumah kita berdua. Foto-foto kami, aku biarkan menempel didinding, kuselipkan pada kertas walpaper bergambar bunga yang mewarnai dinding, dan kami menempel berbagai macam hiasan yang menyala pada keadaan gelap. Hujan terus turun dengan derasnya, tapi kami asik bermain pada dunia kami.

Hujan mulai reda, dan hanya mendung menghiasi langit. Tapi kami hanya tertawa dan bercerita seharian. Berita dipapan iklan memecahkan tawa kami, keadaan telah kembali menjadi normal, dan kendaraan telah bisa kembali melaju diatas jalan raya. Kami hanya terdiam dan kembali duduk dikursi-kursi kami yang hanya diikuti oleh tawa-tawa kecil yang menghiasi suara dilangit. Waktu seakan-akan tidak terasa berlalu, hari yang berat menjadi hari yang membahagiakan. Semua kami lalui berdua dan tanpa menghiraukan, hari yang berat kini jadi kenangan.

Kenapa terasa semua kendaraan berlaju sangat kencang, tidak ada yang bisa mencegah laju roda berputar. Ingin kuhentikan waktu sementara dan mengulang, tapi waktu tetap tidak mau menunggu dan berujung datang. Sampai suara bis datang memecah kebuntuan, aku merasa mengapa yang kutunggu datang begitu cepat. Aku tak tau apa ini yang kutunggu dari awal, seakan akan ada yang menghalang. Ia melihat kearahku dan seakan-akan berbicara ini yang kamu tunggu telah datang dan saatnya melangkah kedepan. Aku mulai merapikan semua barangku, dan mematikan lagu yang ada digadgetku, dan mulai melangkah meninggalkan. Dia berdiri, seperti menyambutku pergi, kedua tangannya dikepal seperti akan berdoa untuk membuatku kembali. Aku mulai membelakanginya dan melangkah pergi, bis yang aku tunggu tak akan menungguku lebih lama lagi. Langkah berat yang terus kujalani, diikuti oleh tatapan tegar yang mencoba menatap lurus kedepan. Dia tau langkahku begitu berat, seakan-akan menempel pada lantai dasar halte, tapi dia tau aku tak bisa menunggu lebih lama lagi disini. Terucap satu kata tulus yang ingin ku ulangi lagi dan sangat berbeda dari awal bertemu “terimakasih” kata yang sama dengan makna yang berbeda.

Setiap langkah-langkahnku begitu berat, ingin rasanya melihat kebelakang tapi tak sanggup melihat mata yang berkaca-kaca. Aku terus menyesalkan mengapa semua terjadi begitu cepat dan mengapa arah kita berbeda. Aku mencoba melangkah terus kedepan, mencoba mencari rasa cuekku yang dulu hilang. Bis sudah tidak bisa lagi menunggu begitu lama, pilihanku apakah aku harus menaiki bis ini atau kembali menunggu dihalte bis ini. Tinggal satu langkah lagi untuk naik kedalam bis, ingin rasanya teriak didalam hati ayok ikut denganku dalam bis ini, dan mencari rumah bukan lagi tempat singgah. Tapi aku tau dia memiliki kewajiban yang harus ia jalani dengan arah yang berbeda. Dengan hati kosong aku mencari tempat duduk didalam bis, tepat dikursi paling belakang dan didekat kaca. Terlihat dia dan halte bis yang kami hiasi bersama, ini merupakan pemandangan yang terberat dalam hidupku

Mesin bis mulai dinyalakan, dan bersiap untuk maju kedepan. Aku menatapnya dengan penuh harapan berharap ia datang mengejar. Tetapi pemandangan semakin lama semakin jauh, dia dan halte bis semakin tidak dapat kulihat lagi. Perasaan berkecamuk dalam hati, mencoba meneguhkan apakah ini yang kutunggu selama ini. Tangis pecah dalam hati, tak dapat kuungkapkan lagi. Teringat semua senyumannya, semua tingkah gilanya, semua kenangan dan semua lagu aneh yang kami ciptakan berdua. Aku tidak dapat pergi meninggalkannya seperti ini, dan tak mau berakhir seperti ini. Aku kembali berdiri, menghentikan laju bis dan mulai berlari kebelakang, menuju halte bis penuh kenangan.

Mendung yang dulu tidak dapat lagi menahan tangisnya dan Rintik hujan mulai datang, seakan mencegahku untuk kembali kehalte bis, tapi aku tetap berlari mengejarnya. Dengan napas terengah-engah bercampur pikiran kacau aku tidak lagi menghiraukannya, dan terus berlari menuju halte bis yang dulu aku kenal. Akhirnya aku tiba disana, seakan-akan aku tidak mempercayai apa yang sedang aku lihat. Pasti mata ini telah berbohong padaku dan menyuruhku untuk pulang. Halte bis itu kini telah kosong, tinggal hiasan-hiasan yang ada pada langit-langit dan dinding-dinnding halte bis. Aku tidak percaya ini halte bis yang dulu aku kenal, karena ia tidak ada lagi didalamnya. Aku mulai berlari mengejar bis yang dia gunakan, “Kiri” itu seingatku dalam benak pikiran. Aku berlari tanpa arah tujuan berharap menemukan dia dipinggir jalan.

Aku berlari seperti beribu-ribu mil rasanya seakan-akan perasaan letih telah dicabut dalam diriku. Semakin aku kejar semakin terlihat bis itu dari kejauhan, terlihat tulisan “kiri” pada kaca belakang bis. Aku terus berlari mengejar tanpa menghiraukan derasnya hujan yang menghadang. Aku terus berlari dan terus berteriak dari kejauhan “mau kah kamu menemaniku dihalte bis lagi?”. Nafas dan suaraku saling bekerjar-kejaran, aku teriak dengan kerasnya diiringi dengan tarikan nafas pada sela-selanya. Bis itu kini semakin dekat, aku berlari dan berteriak semakin kencang. Semakin dekat, aku semakin tidak percaya apa yang aku lihat, semakin dekat, semakin sakit rasanya. Langkah ini terasa semakin berat padahal hanya berjarak beberapa meter didepan, dan perlahan-lahan langkah ini berhenti dengan sendirinya. Hujan mengiringi tangisku didalam kesunyian seakan-akan tak sanggup melihat kedepan. Aku mencoba menyalahkan mataku karna menangkap gambar yang salah tapi ini adalah kenyataan. Aku melihat dua kepala duduk dibangku belakang, satunya berbadan tegap yang satu rambutnya dikuncir dengan karet gelang, dan ia sedang bersandar dipundaknya.

Aku tak tau apakah ini mimpi atau kenyataan, semua terasa begitu meyakinkan. Aku perlahan berjalan kembali pulang diiringi tangis bersama hujan. Langkah demi langkah aku coba berjalan, tapi ini adalah kenyataan. Sampai aku tiba pada halte bis yang dulu aku kenal. Aku mengenang 3 jam yang berlalu begitu cepat. Semua gambar kita yang menggantung di langit-langit, semua hiasan yang ada di dinding-dinding, seakan tak percaya ini telah berakhir. biarlah kini aku yang menjaga halte bis ini, sambil menunggu seseorang datang dan menemaniku pulang.



Untukmu gadis kuncir berambut gelombang
Share:

0 comments:

Post a Comment

BTemplates.com

@iksansyahputra. Powered by Blogger.

WIRELINE LOGGING VS LOGGING WHILE DRILLING (LWD)

Holla amigos, Kali ini aku mau bahas nih mengenai metode logging antara wireline logging (tua dan bersejarah) degan Logging While Drilling ...

Total Pageviews

Search This Blog

Blog Archive