Saat itu pagi yang cerah, tak ada awan yang menahan sinar
matahari. Aku hanya berlindung Di bawah daun-daun
pohon dibawah halte bis. Atapnya terbuat dari plastik yang menyerap panas, jika
bukan karena daun-daun pohon ini aku bisa tersengat sinar matahari. Gerah dan
panas kurasakan, seakan-akan ini menandakan bahwa hari ini adalah hari yang
buruk. Aku membuka kancing baju atasku, dan dengan bermodalkan buku untuk
membuat angin agar menahan laju keringat yang tidak bisa lagi ku bendung. Hari
ini hari yang padat, mobil dan motor meramaikan hiruk pikuk kota. Seperti tidak
ada yang memperdulikanku menunggu di tepi jalan dan berharap jemputanku datang
cepat.
Perlahan2
seorang gadis menghampiriku, berambut panjang, kulit putih, dan tinggi hampir
sama denganku duduk diseberang kursi. Celana jeans biru dan baju polo merah
yang dia kenakan terlihat casual dengan warna yang sudah tidak baru lagi,
menandakan ia sangat menyukai pakaian itu dan terus memakainya. Tatapan matanya
sangat tajam, seakan-akan membuat orang takut untuk melihat. Dia adalah gadis
yang kuat, tegar dari penampilannya dan ia tidak menghiraukan teriknya matahari
yang ada diseberang kursi. Aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh, seraya
membuka air mineral dingin yang aku punya. Hari itu merupakan hari yang sangat
terik, panas dan kering kalau bukan daun-daun yang menutupi halte bis mungkin
aku bisa mati dehidrasi.
Beberapa
saat kemudian ia menghampiriku, untuk duduk didekatku dibawah daun-daun yang
menutupi. Tidak bisa dipungkiri hari ini memang hari yang berat, aku
mempersilahkan satu kusi kosong didekatku dibawah daun-daun pohon yang rindang.
Cahaya matahari memaksa masuk dari celah dedaunan, tapi tidak cukup untuk
membuatku kembali berkeringat.
Kami
hanya duduk diam, saling mencuri2 pandang satu sama lain. Karcis di jepit di
mulutnya seraya mengikat rambut dengan karet gelang yang ada di tangan
kirinya. "Kiri" itulah arahnya dia pergi, berbeda dengan ku menuju
arah “kanan”, dan kami hanya duduk untuk menunggu bis datang.
Kuakui dia gadis yang cuek dan supel, tidak peduli dengan
apa yang ada disekitarnya. Dia hanya menatap lurus kedepan dan tidak berpaling
kekanan atau kekiri seperti Tidak begitu suka dengan keramaian kota ini. Berita
pengumuman pada layar iklan mengusik keheningan kita berdua, Telah terjadi
macet total tak jauh dari halte bis yang diperkirakan berlangsung selama 3 jam ke
depan. Serentak kami berdua menghelakan nafas, menandakan kami akan terjebak
dibawah halte bis dengan suasana yang gerah. Dalam hati aku berkata, bagaimana
bisa aku terjebak dengan gadis yang cuek seperti ini dan mungkin perkataan sama
juga terbesit di pikirannya.
Matahari semakin lama semakin tinggi, seakan-akan dedaunan pun tidak mampu lagi
membendung sinarnya. Tidak ada angin yang berhembus, terik matahari bisa terlihat
hawanya pada jalanan didepan kami. Aku kembali membuka air mineral
dinginku, untuk mencoba kembali menyegarkanku. Dia hanya menatapku sebentar dan mencoba tidak menghiraukanku, dan berusaha
dengan cuek menelan air liurnya sendiri. Dia benar-benar gadis
yang memiliki harga diri tinggi, tak mau terlihat lemah di hadapan orang lain.
Aku tau, tak ada satu
pun yang sanggup melalui hari ini, kucing pun berusaha mengais-ngais rerumputan
dibawah pohon. Berharap ada embun hujan yang masih hinggap di setiap daun
rerumputan untuk menghilangkan rasa hausnya. Aku sodorkan air mineral dinginku
kepadanya, dan berusaha tidak menatapnya seakan menunjukkan aku juga memiliki
harga diri tinggi sama sepertinya. Dia benar-benar gadis yang cuek, kalau bukan
rambutnya yang panjang, mungkin aku sudah mengira kalau ia adalah laki-laki
dari sikapnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia mengambil air
minum dinginku, dan berusaha menyegarkan tenggorokannya. Ia
menghela nafas panjang untuk kedua kalinya seakan-akan telah hilang separuh
beban hidupnya sambil mengusap butiran-butiran air di bibirnya.
“Terimakasih”,
hanya satu kata itu yang terucap dari bibirnya seraya mengembalikan air
minumku, aku tidak tau ia menjadi agak sedikit gugup berada di sampingku dan
akhirnya botol air mineral itu terlepas darinya dan membasahi sekujur celanaku.
Ketika badan panas bertemu dengan air mineral yang dingin ini sangat membuatku
terkejut, aku langsung mengangkat kedua kakiku ke udara dan memundurkan sedikit
badanku, yang pada akhirnya membuat kepalaku terbentur ke dinding halte bis.
Sambil menahan sakit aku mengusap-usap kepalaku yang terbentur cukup keras, dan
hanya keheningan yang terjadi diantara kita. Kami berdua terdiam sambil menatap
lurus ke depan, dan ia memulai tertawa kecil yang aku ikuti dengan tawa kecil
lainnya. Ini mungkin menjadi perkenalan kami yang tidak begitu sempurna.
Satu jam pertama,
kami mulai bercerita untuk mengisi kekosongan dan ingin mencairkan suasana,
mencoba mencari sedikit kebahagiaan pada keadaan yang cukup berat pada hari
ini. Suaranya yang unik, seakan-akan memaksaku untuk terus memperhatikannya,
dan dia ternyata tidak secuek dan sekeras yang aku bayangkan. Kami saling bercerita mengenai apa yang terjadi hari ini, dan
perlahan-lahan perbincangan mengarah mengenai apa yang kami sukai. Ia suka
sekali makan pangsit pada perempatan jalan, dan aku pun mengenal tempat itu dan
sangat menyukainya. Kami sama-sama mencintai travelling, walaupun kami tidak
mempunyai banyak uang, tapi kami membayangkan berbagai tempat yang layak untuk
dikunjungi dengan masing-masing surga di dalamnya.
Kami larut dalam angan-angan, dan saling berandai-andai. Ia menceritakan
sepaket perjalanan menuju kota tambang kecil yang terdapat di bagian utara dari
kota ini. Dan ia menceritakannya bersama aku di dalamnya. Ceritanya membuat
seakan-akan kami sedang berada di sana, menaiki motor beat hitam berdua,
membuat bekal untuk perjalanan panjang menuju kota kecil itu. Di sana kami
menikmati suasana matahari terbenam diatas bukit sambil menikmati bakso hangat
hingga matahari tak dapat kelihatan lagi. Kemudian giliranku untuk
berandai-andai menuju kota tak jauh dari kota sebelumnya. Menyewa satu perahu
kecil untuk kita berdua dan menuju pulau di tengah laut. Terumbu karang
terlihat dibawah kami, dan kami saling membenamkan kedua tangan kami ke air
seraya takjub dengan keindahan dibawah laut. perahu kecil ini terus
bergoyang-goyang dan kami hanya saling berpegangan tangan untuk menjaga satu
sama lainnya. Di sana kami mengabadikan semua kenangan, mengelilingi pulau yang
seakan-akan miliki berdua. Aku menggendongnya di pundakku dan terus
mengabadikan foto kami di sana.
Angan-angan demi angan-angan berlanjut, membuat perbincangan ini semakin
menyenangkan. Berusaha menjauh dari semua kenyataan yang membuat kami lelah
tiap harinya. Membayangkan trip ke desa terpencil dan bermain arun jeram, Mengunjungi
air terjun di dalam hutan, bersantai di dalam goa, menikmati sosis dari puncak
ketinggian, menaiki kereta mengelilingi setiap kota, berenang di sungai di
dalam goa, mengunjungi museum, bermain di pasar malam, dan terus hingga membuat
kami terlarut di dalamnya sehingga aku tak dapat lagi membedakan mana kenyataan
dan mana hanya impian.
Hampir semua yang aku sukai pun ia sukai, dan perbincangan ini sangat
menyenangkan ketika seseorang yang tau mengenai berbagai hal yang sama-sama
dicintainya. Walaupun ada sedikit perbedaan, aku menyukai film aksi dan ia
menyukai film drama, tapi aku perlahan-lahan menyukai film drama dengan
mendengarkan cerita darinya, bagaimana film-film itu bagus dimatanya dan aku
pun menceritakan film aksi yang menurutku bagus padanya. Ternyata hari ini
tidak seberat yang kami bayangkan
Satu jam kedua, kami mulai nyaman satu sama lainnya, kecuekannya yang dulu
kukenal kini telah hilang darinya. Kami melakukan hal gila bersama-sama mencoba
mengalihkan dunia dan mencari kebahagian kami berdua. Kami menyanyikan lagu
yang aneh berdua, berteriak dipinggir jalan berdua, melepaskan dan
menumpahkannya semuanya dijalan. Aku mulai bertingkah aneh layaknya anak kecil
untuk menghiburnya, dan ia perlihatkan sikap sama padaku. Kami tertawa lepas
dan mengacuhkan segalanya, tak peduli apa dan siapa yang menghampiri, kami
tetap melakukan apa yang kami sukai. Saat ini kami bertingkah layaknya orang
gila berdua, tertawa lepas, dan memutar satu album lagu Sheila on seven pada
gadgetku. Aku mulai bertingkah aneh, memanjat pohon sambil menari-nari. Kamera
polaroid, ia keluarkan dari ranselnya, kami mengambil gambar bersama dan
mengabadikan semuanya dalam gambar.
Satu jam ketiga, semua menjadi lebih indah, semuanya kami hadapi berdua.
Tak peduli cuaca panas atau dingin, orang datang dan pergi, kami tidak
memperdulikannya. Cuaca mulai mendung, dan rintik-rintik hujan mulai datang.
Kami hanya tertawa berdua dan menari dibawah gerimisnya langit. Lagu shelila on
seven terulang kembali menjadi lagu awal, menandakan lagu ini telah berulang
terus menerus. Aku akui laguku hanya itu-itu saja, tapi kami tidak
memperdulikannya dan hanya tertawa. Kami berdansa di bawah gerimisnya hujan,
aku memegang tangannya dan pinggangnya, dan ia melakukan hal yang sama. Mata
kami saling bertatap tatapan, awalnya dia malu dan tertawa kecil, tapi ia mulai
mengikuti iramaku. Untungnya Ia membawa setumpuk kertas kamera, kami mengambil
banyak sekali gambar dan kenangan. Kami mulai menghiasnya dihalte bis ini,
seakan-akan telah menjadi milik kami berdua. Foto-foto kami, kami biarkan
menggantung di langit-langit halte bis, menjuntai kebawah ditahan oleh seutas
tali. Kami menulis berbagai macam cita-cita kami di dinding-dinding halte, dan
bagaimana masa depan kami yang ingin kami lalui. Aku mengeluarkan kertas wallpaper
dari dalam tasku dan menghiasi dinding-dinding halte bis, seakan-akan ini telah
menjadi rumah kita berdua. Foto-foto kami, aku biarkan menempel didinding,
kuselipkan pada kertas walpaper bergambar bunga yang mewarnai dinding, dan kami
menempel berbagai macam hiasan yang menyala pada keadaan gelap. Hujan terus
turun dengan derasnya, tapi kami asik bermain pada dunia kami.
Hujan mulai reda, dan hanya mendung menghiasi langit. Tapi kami hanya
tertawa dan bercerita seharian. Berita dipapan iklan memecahkan tawa kami,
keadaan telah kembali menjadi normal, dan kendaraan telah bisa kembali melaju
diatas jalan raya. Kami hanya terdiam dan kembali duduk dikursi-kursi kami yang
hanya diikuti oleh tawa-tawa kecil yang menghiasi suara dilangit. Waktu
seakan-akan tidak terasa berlalu, hari yang berat menjadi hari yang
membahagiakan. Semua kami lalui berdua dan tanpa menghiraukan, hari yang berat
kini jadi kenangan.
Kenapa terasa semua kendaraan berlaju sangat kencang, tidak ada yang bisa
mencegah laju roda berputar. Ingin kuhentikan waktu sementara dan mengulang,
tapi waktu tetap tidak mau menunggu dan berujung datang. Sampai suara bis
datang memecah kebuntuan, aku merasa mengapa yang kutunggu datang begitu cepat.
Aku tak tau apa ini yang kutunggu dari awal, seakan akan ada yang menghalang.
Ia melihat kearahku dan seakan-akan berbicara ini yang kamu tunggu telah datang
dan saatnya melangkah kedepan. Aku mulai merapikan semua barangku, dan
mematikan lagu yang ada digadgetku, dan mulai melangkah meninggalkan. Dia
berdiri, seperti menyambutku pergi, kedua tangannya dikepal seperti akan berdoa
untuk membuatku kembali. Aku mulai membelakanginya dan melangkah pergi, bis
yang aku tunggu tak akan menungguku lebih lama lagi. Langkah berat yang terus
kujalani, diikuti oleh tatapan tegar yang mencoba menatap lurus kedepan. Dia
tau langkahku begitu berat, seakan-akan menempel pada lantai dasar halte, tapi
dia tau aku tak bisa menunggu lebih lama lagi disini. Terucap satu kata tulus
yang ingin ku ulangi lagi dan sangat berbeda dari awal bertemu “terimakasih”
kata yang sama dengan makna yang berbeda.
Setiap langkah-langkahnku begitu berat, ingin rasanya melihat kebelakang
tapi tak sanggup melihat mata yang berkaca-kaca. Aku terus menyesalkan mengapa
semua terjadi begitu cepat dan mengapa arah kita berbeda. Aku mencoba melangkah
terus kedepan, mencoba mencari rasa cuekku yang dulu hilang. Bis sudah tidak
bisa lagi menunggu begitu lama, pilihanku apakah aku harus menaiki bis ini atau
kembali menunggu dihalte bis ini. Tinggal satu langkah lagi untuk naik kedalam
bis, ingin rasanya teriak didalam hati ayok ikut denganku dalam bis ini, dan
mencari rumah bukan lagi tempat singgah. Tapi aku tau dia memiliki kewajiban
yang harus ia jalani dengan arah yang berbeda. Dengan hati kosong aku mencari tempat
duduk didalam bis, tepat dikursi paling belakang dan didekat kaca. Terlihat
dia dan halte bis yang kami hiasi bersama, ini merupakan pemandangan yang
terberat dalam hidupku
Mesin bis mulai
dinyalakan, dan bersiap untuk maju kedepan. Aku menatapnya dengan penuh harapan
berharap ia datang mengejar. Tetapi pemandangan semakin lama semakin jauh, dia
dan halte bis semakin tidak dapat kulihat lagi. Perasaan berkecamuk dalam hati,
mencoba meneguhkan apakah ini yang kutunggu selama ini. Tangis pecah dalam
hati, tak dapat kuungkapkan lagi. Teringat semua senyumannya, semua tingkah
gilanya, semua kenangan dan semua lagu aneh yang kami ciptakan berdua. Aku
tidak dapat pergi meninggalkannya seperti ini, dan tak mau berakhir seperti
ini. Aku kembali berdiri, menghentikan laju bis dan mulai berlari kebelakang,
menuju halte bis penuh kenangan.
Mendung yang dulu
tidak dapat lagi menahan tangisnya dan Rintik hujan mulai datang, seakan
mencegahku untuk kembali kehalte bis, tapi aku tetap berlari mengejarnya.
Dengan napas terengah-engah bercampur pikiran kacau aku tidak lagi
menghiraukannya, dan terus berlari menuju halte bis yang dulu aku kenal.
Akhirnya aku tiba disana, seakan-akan aku tidak mempercayai apa yang sedang aku
lihat. Pasti mata ini telah berbohong padaku dan menyuruhku
untuk pulang. Halte
bis itu kini telah kosong, tinggal hiasan-hiasan yang ada pada langit-langit
dan dinding-dinnding halte bis. Aku tidak percaya ini halte bis yang dulu aku
kenal, karena ia tidak ada lagi didalamnya. Aku mulai berlari mengejar bis yang
dia gunakan, “Kiri” itu seingatku dalam benak pikiran. Aku berlari tanpa arah tujuan berharap menemukan dia dipinggir jalan.
Aku berlari seperti beribu-ribu mil rasanya seakan-akan perasaan letih
telah dicabut dalam diriku. Semakin aku kejar semakin terlihat bis itu dari
kejauhan, terlihat tulisan “kiri” pada kaca belakang bis. Aku terus berlari
mengejar tanpa menghiraukan derasnya hujan yang menghadang. Aku terus berlari
dan terus berteriak dari kejauhan “mau kah kamu menemaniku dihalte bis lagi?”.
Nafas dan suaraku saling bekerjar-kejaran, aku teriak dengan kerasnya diiringi
dengan tarikan nafas pada sela-selanya. Bis itu kini semakin dekat, aku berlari
dan berteriak semakin kencang. Semakin dekat, aku semakin tidak percaya apa
yang aku lihat, semakin dekat, semakin sakit rasanya. Langkah ini terasa
semakin berat padahal hanya berjarak beberapa meter didepan, dan perlahan-lahan
langkah ini berhenti dengan sendirinya. Hujan mengiringi
tangisku didalam kesunyian seakan-akan tak sanggup melihat kedepan. Aku mencoba
menyalahkan mataku karna menangkap gambar yang salah tapi ini adalah kenyataan.
Aku melihat dua kepala duduk dibangku belakang, satunya berbadan tegap yang
satu rambutnya dikuncir dengan karet gelang, dan ia sedang bersandar
dipundaknya.
Aku tak tau apakah
ini mimpi atau kenyataan, semua terasa begitu meyakinkan. Aku perlahan berjalan
kembali pulang diiringi tangis bersama hujan. Langkah demi langkah aku coba
berjalan, tapi ini adalah kenyataan. Sampai aku tiba pada halte bis yang dulu
aku kenal. Aku mengenang 3 jam yang berlalu begitu cepat. Semua gambar kita
yang menggantung di langit-langit, semua hiasan yang ada di dinding-dinding,
seakan tak percaya ini telah berakhir. biarlah kini aku yang menjaga halte bis
ini, sambil menunggu seseorang datang dan menemaniku pulang.
Untukmu gadis kuncir berambut gelombang
0 comments:
Post a Comment