Banyak orang berkata, “cinta itu buta” aku hanya tertawa karena hal ini
tidak ada dalam kamusku. Banyak orang-orang melakukan hal gila hanya demi
cinta, menyayat tangannya untuk menuliskan nama pasangannya, berkelahi dengan
seseorang yang merebut kekasihnya, hingga menantang maut. Tapi semua itu
berubah ketika aku bertemu dengannya.
Aku adalah orang yang sulit untuk jatuh cinta, dari masa SMP hingga SMA,
aku hanya menyukai satu orang gadis saja yang sangat kupuja yaitu “gadis
berbando hitam”. Aku pikir aku tidak bisa menyayangi seseorang kalau bukan dia.
Banyak wanita yang datang dan pergi dalam hidupku, dan hanya lewat begitu saja.
Aku seperti pemain cinta yang tak berperasaan. Sudah kukatakan berulang kali
sebelum merajut sebuah cerita, “kita jalani dulu” karena aku butuh waktu dan
cara untuk belajar mencinta. Tetapi hubungan-hubungan itu tak berlangsung lama,
karena aku tak dapat melupakan gadis berbando hitam.
Hingga sampai saatnya masuk kuliah, aku sangat takut aku tak bisa menyukai
seseorang kalau bukan gadis itu. Aku benar-benar tak bisa melupakan senyumannya
yang terus terngiang didalam otakku, seperti merasa dia adalah separuh aku, dan
tulang rusukku. Hingga pada akhirnya aku bertemu dengan wanita berambut
gelombang. Dia memang cantik dan rupawan, tapi aku tak bisa menyukai orang
begitu saja.
Aku mulai dekat dengannya, dari teman hingga sahabat. Aku ceritakan semua
tentang aku padanya, termasuk gadis berbando hitam. Ia juga menceritakan
bagaimana perjalanan cintanya, bagaimana ia dekat dengan seseorang akhir-akhir
ini dan memintaku untuk memberikan saran padanya. Semakin lama, kami semakin
dekat, ia mulai mengejekku dan kami saling melempar ejekkan satu sama lain. Dia
gadis yang benar-benar cuek, tapi ialah sahabat terbaikku saat itu.
Seiring berjalannya waktu, kami bagaikan sepasang prangko yang tak
terpisahkan. Banyak yang mengira kami menjalin hubungan asmara, tapi kami
selalu menyangkalnya, karena kami berbeda agama. Kami seperti telah digariskan
tuhan untuk bersama, kami selalu mendapat tugas kelompok bersama, jadi panitia
acara bersama, dan organisasi yang sama. Dan saat itulah aku merasa ada
perasaan berbeda dengannya, seperti pepatah kuno mengatakan, “tidak mungkin ada
persahabatan antara laki-laki dan wanita jika tidak dibumbui dengan perasaan”
Kami merupakan mahasiswa geologi, dan pada kelas yang sama. Banyak
pertualangan yang kami lakukan dalam menyusuri alam bersama, untuk memenuhi tugas
kuliah. Aku berusaha tampak keren dan kuat, agar terlihat bak superhero
dimatanya. Tapi yang malah kuperlihatkan hanyalah kekonyolan yang selalu
membuatnya tertawa. Meskipun terik saat menyusuri hutan, tapi kami menikmatinya,
aku menjaganya dan memberikan perhatian lebih padanya. Dan aku tau dia mulai
merasa ada yang berbeda diantara kita.
Beberapa bulan berlangsung, namaku dan nama dia semakin menyatu. Disaat ada
aku, pasti ada dia yang menemani. Hingga suatu malam saat kami camping bersama,
dia yang menemaniku kemana-mana. Disaat aku ingin buang air kecil, ia menemaiku
dari luar seraya menerangiku dengan lampu senternya. Disaat dia ingin keluar
saat malam, aku selalu menemaninya karena khawatir tentangnya. Kami selalu
berbuat hal gila bersama-sama, aku menggendongnya dimalam itu, aku tak tahu
kenapa seakan ingin memeluknya.
Dipagi hari yang tak terduga, seperti biasa kami sering melempar ejekan
dalam pesan singkat yang kami tulis, ia mengejekku karena diduai oleh gadis
yang sedang dekat denganku, dan aku mengejeknya karena ia dibuat ilfil oleh
gebetannya yang sedang ia jalani. Sampai suatu ketika secara tak sadar aku
berkata, “jadian yok”, itu merupakan kata-kata yang keluar begitu saja, tak
terpikirkan, dan tak terduga. Dan ia berkata, “ayok”, itulah merupakan awal
dari perjalanan cintaku yang baru.
Hidup menjadi lebih berwarna semenjak ada dia, kemana kakiku melangkah, dia
selalu menemaniku seraya menggandengku dan memberikan semangat. Dan akupun
begitu untuknya, berusaha untuk menerobos badai bersama-sama. Semakin keras
badai menerpa, semakin keras kami berakar. Berbagai masalah membuat kami
semakin kuat dan tak terkalahkan.
Kami semakin nyaman berdua, dan ia semakin gila menyayangiku dan begitupun
aku. Dia katakan padaku mau mencoba mengikuti agamaku, dan aku sangat
menantinya. Tetapi seiring berjalannya waktu ia berubah pikiran, dan mengatakan
suatu saat nanti kami harus berpisah, aku tau sangat berat berada diposisinya
antara keluarga, Tuhan dan cinta. Ia katakan padaku takkan menjalin cinta
sebelum aku menemukan cinta yang baru. Ia katakan padaku takkan mau menikah
jika tidak bersamaku. Aku tak tau ini kabar baik atau buruk, karena pasti suatu
saat kami akan berpisah dan ini sangat membebaniku. Aku tak mau melihat masa
depannya mati karenaku.
Sampai suatu ketika gadis berbando datang menghampiri, dan disitu aku harus
memilih gadis yang dulu kupuja atau ketulusan yang telah kudapat. Aku tau ini
merupakan kesempatan emas yang aku tunggu-tunggu selama ini, gadis yang memberiku
semangat dari kejauhan yang selalu kunanti. Terbayang sudah masa depan yang
akan kujalani dengannya. Tapi aku tak bisa meninggalkan gadis berambut
gelombang yang memberiku banyak kasih dan ketulusan. Aku tak mau melihatnya
sakit dan tak mau melihatnya sedih. Tapi aku tau kami tak memiliki masa depan
yang baik karena kami berbeda pondasi agama. Disinilah aku harus memilih, dan
bodohnya hatiku memilih dia yang telah memberiku ketulusan selama ini.
Aku tau dia sangat menyayangiku, dan dia tak pernah tau dibalik kecuekan
yang kusimpan selama ini menyembunyikan sayang yang sangat besar untuknya. Aku
mengorbankan semua untuknya termasuk cinta yang dulu kunanti selama ini. Dia
merupakan cinta pertamaku yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Tapi kenyataan demi kenyataan terus terungkap membuat kami harus
berpisah. Hanya ada dua pilihan antara dia atau aku yang memaksa untuk berpisah
dan aku yakin dia takkan mampu melakukannya.
Aku mulai
membangun rasa bencinya untukku, berharap ia dapat meninggalkanku. Aku tak mau
menjadi pria terakhir untuknya seakan ini sangat membebaniku. Tapi aku tau aku
juga takkan bisa berpisah dengannya dan takkan mampu menyakitinya. Tapi ini
adalah pilihan terakhir dan tak ada jalan lain. Harus ada yang berkorban, dan
harus ada yang jadi tersangka, walau dalam hati terus tersiksa.
Dan hingga
saatnya tiba..
Aku mulai cuek
dengannya, setiap pesannya aku jawab dengan nada dingin seperti tak mengenalnya
selama ini. Dia sadar ada yang berubah dalam diriku, mungkin dia berpikir bahwa
aku tak lagi mencintainya. Tetapi dalam hati aku terus menangis dan memaksa
“aku harus lakukan ini demi masa depannya, demi masa depan kita, ia harus bisa
tanpaku, dan dia harus membenciku”
Hingga suatu
ketika aku sakit parah, disitu aku sadar “inilah saatnya dan ini adalah
sinyal-NYA”. Aku tau kondisinya sedang terpuruk, tapi jika tidak begini dia
takkan bisa meninggalkanku. Aku tau orang-orang akan menganggapku pria yang
brengsek pergi meninggalkannya disaat ia jatuh. Tapi aku tak mau
memperdulikannya karena inilah yang terbaik untuknya.
Kata demi kata
terucap, kata putus tak terelakkan lagi. Ia berusaha menerima kenyataan pahit
dan aku berusaha menahan sakit yang aku rasa. Dalam hati aku berkata “ia akan
sangat membenciku, dan semua orang akan membenciku”. Tapi inilah kenyataan, harus ada yang mengalah dan
berkorban, karena kami hanya terus berputar-putar tanpa ada solusi yang keluar.
Aku tau aku sangat mencintainya, aku tak pernah punya alasan untuk
memutuskannya dari awal, dan aku tak punya alasan untuk membencinya. Aku tau
suatu saat aku pasti akan membawanya kembali kesisiku, untuk itu aku harus membangun
kebencian yang sangat besar untuknya, agar ia menganggapku pria brengsek dan
kurang ajar, agar aku tak punya jalan kembali pulang.
Tujuh hari berlalu, aku sangat merindukannya, aku coba untuk kembali
mendekatinya. Perasaan yang dulu takkan pernah hilang untuknya, karena dari
awal hanya ialah yang mengajarkanku ketulusan. Dan aku tau pasti ia takkan lagi
mau menerimaku kembali. Aku terus tersiksa tiap harinya, berharap ia kembali
pulang, tapi semakin lama ia semakin hilang bersama seorang pria yang tak
pernah kukenal sebelumnya.
Kini biarlah aku yang tersiksa, cemoohan tak dapat kuhindari, tapi biarlah
agar ia bisa pergi meninggalkanku dan membangun masa depannya. Kini giliranku
untuk melupakannya bersama rasa sakit hati yang aku rasa. Aku tak pernah punya
alasan untuk membencinya, dan semakin tenggelam dengan persaan sakit hati yang
menyiksa.
Aku menyediakan silet tajam untuknya, agar ia membunuh cintaku yang telah
kami bangun berdua. Silet yang aku asah selama ini dengan kesedihan, agar ia
bisa melangkah mudah tanpa merasa kehilangan. Kini yang tersedia untukku
hanyalah silet tumpul yang tak beralasan, aku tau ini konsekuensinya dari
pilihan yang aku buat. Aku mulai menyayat perlahan, rasa sakitnya luar biasa
dan lama untuk hilang. Aku tak punya apa-apa untuk mempertajam silet ini,
karena aku tak punya rasa benci untuknya, dan masih sangat menyayanginya. Hati
ini lama untuk mati, dan secara perlahan-lahan mengucurkan penyiksaan yang tak
henti. Aku hanya bisa menikmati rasa sakitnya secara perlahan, seperti ayam
yang dipotong lehernya, mendobrak kesana kemari hingga akhirnya tak ada tenaga
yang tersisa. Kesakitan yang mengerikan terus keluar, aku tak dapat menghentikannya,
yang hanya kupikirkan seberapa lama ini akan bertahan. kemudian ia datang
memelukku dari belakang, dan menemaniku untuk menghilangkan penderitaan. Kini
sakitnya tak terasa, walaupun terus mengucur keluar, kini ia kembali menemaniku
untuk membantuku mengeluarkan rasa sakitnya.
0 comments:
Post a Comment