Ketika cinta dipertemukan dengan
sebuah masalah maka akan menimbulkan kesabaran. Itulah yang aku lakukan saat
itu. Menunggu dan menanti adalah sebuah hal yang tak asing lagi, hanya harapan
yang membuatku hidup. Harapan untuk melihat senyumannya kembali.
Tetapi semakin dalam aku larut
akan kesabaran, maka semakin dalam aku sakit, semakin dalam aku tenggelam,
semakin lama aku mencapai permukaan. Tapi itulah cinta, kadang membuatmu
semangat dan tak terkalahkan dan terkadang ia memperlakukanmu seperti
pecundang.
Lima bulan aku berpisah
dengannya, dia jauh diseberang kota yang tak pernah aku pijakan kaki disana. Dikota kelahirannya, dikota asalnya,
dimana semua kenangan masa kecilnya tersimpan. Aku disini menuggunya, bukan
hanya terpisah jarak, tapi perlahan-lahan hati kami juga mulai berpisah.
Sebulan aku telah mengakhiri perjalanan cinta dengannya, aku masih tetap
menantinya, menghiburnya, memberikan perhatian padanya dan berharap raga kami
akan bersama suatu saat nanti.
Aku tau ia jauh disana, kesepian, banyak masalah, hidupnya membosankan, dan
berbagai hal lain yang membuatnya muak akan semua itu. Aku coba untuk ada
disisinya, aku coba untuk bersama dengannya menghadapi semua permasalahannya,
walaupun aku juga mempunyai permasalahnku sendiri yang tak mau kubebani
padanya. Semakin lama aku ada untuknya, semakin aku mengejarnya maka semakin
itu pula ia menjauh. Ternyata segala permasalahannya perlahan telah hilang dan
itu bukan karena aku.
Aku tak tau apa lagi yang kunanti saat itu, tujuanku perlahan hilang
beserta harapanku. Kata demi katanya menyayat hatiku seakan melemparku ke bara
api panas, perlahan mati dan menyakitkan. Aku perlahan merelakannya yang telah
bahagia, karena itu tujuanku selama ini, tapi satu hal yang aku sangat takuti, untuk
kehilangan cintaku untuknya yang selama ini kucari.
Hidupku serasa hampa, tak berarti, hari-hariku berlalu begitu saja tanpa
kusadari. Teman-teman datang silih berganti menghiburku, tetapi aku tetap tak
mau merelakan cintaku untuknya. Aku tau dia sudah pergi, tapi biarkan aku
menjaga perasaan ini. Biarkan aku jaga semua kenangan ini, yang takkan terulang
kembali.
Kini ia datang disini, raganya kembali datang, tapi hatinya sudah tak lagi
dibawanya. Aku berusaha menahan untuk berlaku biasa padanya, tapi ketika
melihatnya, semua ingatan begitu lancar terbongkar, semua yang kubendung untuk
melupakannya seketika hancur berantakan, dan aku tak bisa menahan laju air mata
yang mengalir tak tertahan. Aku peluk dia, dan ia berusaha meyakinkan aku untuk
merelakan.
Setiap melihatnya hatiku tenang, setiap ketawanya membangkitkan senyuman.
Aku benar-benar nyaman bersamanya walaupun sebagai teman, meskipun disatu sisi
aku sakit melihat senyumannya bertukar pesan pada pasangannya. Ia berjanji
padaku takkan meninggalkanku, dan akan berada bersamaku, walau hanya sebagai
teman sampai aku menemukan penggantinya. Ia berkata padaku “jika aku jadi kamu,
aku kan bersamanya hingga waktunya tiba, berusaha bersama-sama walaupun bukan
siapa-siapa karena dengan bersamanya membuatku tenang”. “mau bagaimanapun kamu
aku tetap seperti ini, seperti aku yang dulu”
Hari-hariku kembali berwarna bersamanya, semangatku kembali tumbuh dan
tujuanku kembali ku bangun. Aku akan terus bersamanya, mengejar cita-cita
bersama seperti dulu, ia ingin jadi sekertaris dan aku ingin segera bekerja
diperusahaan migas dan ingin terus menulis, aku mulai tak memikirkan ia punya
pasangan atau tidak yang penting sekarang adalah untuk mencapai cita-cita kami
bersama seperti dulu. Aku tau aku takkan bisa mendapatkannya kembali, aku tau
aku akan berpisah dengannya, aku tak mau merebutnya dari pasangannya, tapi
izinkan aku bersamanya hingga kami mencapai cita-cita kami tanpa perlu
memikirkan hal lain seperti dulu.
Tapi kesenangan itu tak berlangsung lama, setiap hanya ada kami berdua,
kami terus bersama tanpa memperdulikan siapapun, terus membicarakan bagaimana
menggapai cita-cita kami, serasa dia yang dulu telah kembali. Tetapi ketika ia
bersama teman-temannya, ia memandangku lain, seakan jijik denganku dan berusaha
tak memperdulikanku. Seakan-akan ia berkata, “aku terpaksa menjalani ini,
karena aku kasian denganmu yang tak bisa melupakanku, aku tak sudi bersamamu”.
Aku tau, ia tidak mau dipandang jelek oleh teman-temannya karena masih dekat
denganku, tapi yang ingin kukatakan padanya adalah “sejak kapan ia
memperdulikan orang lain? Apakah perbedaan yang kami jalani dahulu kita tak
perduli dengan pendapat orang lain?”. AKu tau posisiku, aku tau siapa aku
sebenarnya, aku takkan merebutmu darinya, tapi izinkan aku bersamanya dan tak
memikirkan semua ini untuk terus mengejar cita-cita kami bersama. Aku samapai
sekarang tak memperdulikan apa kata orang “cowo brengsek yang meniggalkan
pacarnya”, “cowo yang tak punya harga diri mengejar cewe sampai segitunya”,
“cowo yang gak konsisten”, aku tau mereka tak mengerti, karena mereka tak
pernah berada diposisiku dan aku lakukan demi masa depan kami.
Aku seperti gelombang air laut, terkadang naik, terkadang turun melihat
sikapnya padaku. Terkadang ia berubah jadi dirinya yang dulu terkadang ia
berubah jadi pembunuh yang menikamku secara tiba-tiba. Ia membahas cowonya,
bagaimana besarnya ia sayang pada cowonya, bagaimana perhatiannya cowonya,
betapa pencemburunya cowonya dan aku hanya bisa bersabar dan terus mengingat
tujuanku yang sebenarnya. Terkadang ia berusaha menegarkanku, “sudah gak usah
diingat, kita jalanin aja, pasti kamu kuat” Ia tau betapa sakitnya berada
diposisiku karena ia pernah mengalaminya bersama cinta pertamanya. Tersiksa tak
bisa tidur, tersisa tak bisa makan, tersiksa perasaan, tapi mengapa ia lakukan
semua itu padaku. Ketika ia baik padaku, perhatian padaku, aku jadi
bersemangat, makan terasa nikmat sekali, dan tidur menjadi hal yang kunantikan,
tapi ketika ia sudah jahat, semuanya bisa mendadak berubah.
Sampai suatu ketika di sabtu sore, aku sedang berkumpul bersama
teman-temanku, berusaha kembali bahagia. Semangkuk pangsit hangat siap untuk ku
santap. Seharian aku tak mendengar kabar darinya, aku katakan padanya “kok ga
ada kabar, kok chatku diread aja? pasti lagi chattan sama cowomu terus ya?”.
Dan satu kalimatnya yang benar-benar menamparku “iyalah namanya juga pacar,
sayang banget ga bisa ketemu sudah gitu jauh lagi L). Saat itu suasana hatiku mendadak
berubah.
Aku tak tau maksud sebenarnya itu apa, apa yang diinginkannya, pikirannya
selalu berubah-ubah. Dia bilang, “mau bersamaku hingga saat-saat terakhir”, ia
bilang “mau bagaimanapun kamu aku tetap aku yang dulu”. Tapi kenapa ia tak bisa
menjaga perasaanku. Aku tau tempatku aku tau tujuanku, tapi kenapa ia selalu
berubah-ubah, ia tau betapa besarnya dan tulusnya aku sayang padanya, dan aku
sedang berjuang mengikhlaskannya, aku sedang berjuang mencapai cita-cita kami
berdua, dan ia tau ia pernah berada diposisiku dan tau betapa sakitnya aku.
Tapi kenapa ia masih lakukan ini padaku? Aku sudah berusaha tak memperdulikan
cowonya, aku hanya ingin menjalaninya seperti dulu, aku tau statusku apa tak perlu
lagi ia mengingatkanku.
Disaat itu aku sadar, aku takkan mampu bila terus seperti ini….
Keesokan harinya, aku telah berjanji padanya untuk membantunya
mempersiapkan segala kebutuhannya untuk melamar pekerjaan. Aku akan menepati
setiap janjiku padanya setiap hal yang kuucapkan padanya. Ia sadar ada yang
berubah padaku, ia sadar aku sakit hati akan sikapnya. Dan ia malah bertanya
padaku "kamu kenapa ? kamu mau menyerah ? mau bagaimanapun kamu
aku tetap kayak gini aja kok". disitu aku benar-benar muak dengan
semuanya, tak ada satupun katanya yang bisa kupegang, tak satupun katanya yang
sesuai dengan ucapannya, ia bisa berubah secapar angin meniupnya. Dalam hatiku
aku berkata "menyerah ? kamu tau selama ini aku berjuang, selama ini
aku melakukan yang terbaik, aku coba menjadi seperti yang kamu bilang padaku,
bersamamu hingga saat-saat terakhir, tapi apakah ini caramu ?". ia
sangat perhatian padaku pada hari itu, dan perlahan aku mulai sadar, ini bukan
tujuanku sebenarnya, jika terus begini aku akan tetap begini, memang bahagia
bersamanya, tapi sakit hati ini terus mengikuti setiap kebahagiaan itu.
Aku ucapkan satu kata yang benar-benar menyakitinya, aku tau ia akan marah,
tapi aku sudah tak sanggup lagi dengan semuanya. "ingat cowomu".
seketika itu pula ia berubah lagi, seakan-akan ia membuatku sangat hina dekat
dengannya. "aku lakuin ini semua buat kamu, aku kasian sama kamu, aku mau
berbuat baik sama kamu tapi kamu tolak, yaudah aku sampai sini aja ya bantuin
kamu, aku sudah dipandang kegatelan sama anak-anaknya"
Disitu aku berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi, dan menganalisa
jalan pikirannya. Memang benar, cewe itu adalah manusia yang paling rumit, tak
ada yang dapat mengetahuinya walaupun dengan rumus matematika. Kini aku
berharap, ia bahagia dengan dunianya, dan aku terus berdoa untuknya dan untukku
agar dikuatkan langkahku, ditegapkan badanku, dan di tegarkan hatiku, dan
perlahan pergi meninggalkannya.
Suatu malam "mau bagaimanapun kamu aku tetap begini, aku tak
memperdulikan pacaran, yang aku pikir bagaimana masa depanku"
Suatu malam "jika aku jadi kamu, aku bakalan ada buat dia sampai
detik-detik terakhir dan melihatnya bahagia"
Suatu malam dipinggri pantai "aku tak mau memikirkan pacaran, mau
kamu punya cowo apa tidak, aku ingin kita menggapai cita-cita kita, aku tau
kita akan berpisah dan aku takkan merebutmu dari dia" "aku sering
mendengar lagu kita berdua dulu, dan aku sering menangis mengingatnya"
Suatu siang "kamu kenapa ? kamu mau menyerah ? aku tetap
begini aja kok"
Suatu sore "terimakasih telah niat membantuku, aku akan lakukan semuanya sendiri, terimakasih atas jasamu dan aku takkan melupakannya "
0 comments:
Post a Comment