Judul ini seakan-akan menampar pembaca untuk mengingatkan apa sebenarnya hakekat manusia. Kita hidup 40, 50, 60 atau berapapun itu, pasti akan datang harinya jika tiba. Tulisan ini bukan untuk menakuti, atau mengancam melainkan untuk menyadarkan setiap orang yang masih berlindung dibawah rumah yang nyaman. Semua akan kita tinggalkan, baik susah senang, sedih dan bahagia, tidak akan dibawa pada saatnya. Jadi akan kah kamu masih mau memusuhi teman yang nantinya akan datang?
Sejauh-jauh kamu pergi, setinggi-tinggi kamu terbang, akan ada saatnya kakimu mulai letih melangkah dan sayapmu mulai kaku dikepakkan, dan itulah pertanda kamu harus kembali bersama cerita yang harus dipertanggung jawabkan. cerita yang selama ini kamu perjuangkan, semua keputusan yang kamu ambil didalamnya, tak satupun akan luput dari pertanyaan. Kematian bukanlah akhir dari apa yang kita perjuangkan melainkan awal dari sebuah jalan yang baru.
Selama aku hidup didunia ini, ada dua kali kematian datang mengingatkan, seakan-akan berbicara “hey, kamu telah kelewatan”. Ini merupakan pengalamanku saat kamu benar-benar merasa bahwa kematian itu sangat dekat bagaikan nadi dalam darah. Hanya saja kita masih membutakan mata kita sendiri dan tak mau mengakuinya.
Pengalaman ini terjadi dimana aku telah lulus kuliah. Aku mencintai seorang gadis dan benar-benar tulus padanya. Kami terus bersama-sama selama 3 tahun selama kuliah, aku ada untuknya dan diapun ada untukku. Setiap hari begitu indah buat kami, semua kenangan terukir dihati kami.
Dia adalah wanita yang benar-benar kupuja, tidak satu haripun terlewatkan tanpa dia. Tapi semua kesenangan itu hanya fatamorgana belaka, karena kami berbeda agama. Kami berusaha melupakan kenyataan, dan berusaha hidup berdua, tak mau membahas masa depan untuk menikmati waktu yang ada bersama.
Tahun pertama kami habiskan dengan petualangan, menyisisir kota-kota yang kami anggap asing bersama, mulai dari sangata, bontang, jogja dan malang, bagaikan kami sudah pasti tak terpisahkan. Tahun demi tahun berlalu dan Waktu terasa sangat cepat, takkan mau berhenti berputar menunggu kami berdua, komitmen pun dilatunkan, bahwa kami akan berpisah diakhir kuliah.
Perpecahan diantara kami sering terjadi, apalagi membahas agama dan yang paling labil adalah diriku sendiri seakan memaksa ia untuk ikut denganku. kata putus sering kuungkapkan padanya, menyisakan sesal dihati yang mendalam, aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan diantara memilih dia atau ibadah.
Dalam setiap sujudku selalu mengusikku, wajahku seakan-akan tidak mau kudongakkan kelangit, perasaan malu kepada sang pencipta karena masih beribadah tapi masih berdekatan dengannya, sudah beberapa kali aku membahas masalah ini kedia dan sebanyak itu pula kita bertengkar. Orang tua dan keluargaku telah mengenalnya dan terus memaksaku untuk meinkahinya, tapi apadaya kenyataan tak semudah yang dibayangkan karna aku tau ini sulit baginya.
Ketika aku jauh dari dia, aku kembali dekat dengan tuhanku dan mulai menjauhi dia, dan saat itu pula aku memutuskan untuk memutuskannya, tapi rasa sayang ini susah untuk kulupakan, hanya selang beberapa jam atau hari saja aku kembali mengejarnya dan tak mau jauh darinya, dan begitu seterusnya. Membayangkan hari-hari tanpa dia membuatku tak bisa menjalaninya.
Sampai suatu ketika allah sudah benar-benar marah denganku…
Saat itu merupakan malam jumat, dan aku masih terus saja bekerja dikantor untuk menyelesaikan targetku. Mata tak berhenti menatap layar dari pagi hingga petang, dan terus kulakukan dalam 2 bulan belakangan itu. Sampai pada akhirnya, kepala kiriku terasa berat, mataku terasa kunang-kunang, aku tidak bisa melihat secara fokus kembali. Mungkin ini saatnya aku pulang dan beristirahat. Sepanjang jalan kepalaku terus sakit dengan hebatnya, rasanya ingin terlepas dari leherku, aku berusaha menahannya dan terus berjalan hingga pulang kerumah. 60-70 km/jam mungkin aku pacu motorku untuk segera sampai dirumah, tidak peduli bagaimana macetnya jalan raya.
Sesampainya dirumah, saat itu sedang matilampu hanya bermodalkan cahaya bulan aku mencari jalanku menuju depan pintu rumah. Aku mengetuk pintuk sambil menahan rasa sakit dikepalaku, tapi tak ada yang menjawab dan sepertinya tidak ada orang dirumah. Aku mengambil kunci disakuku, dan mulai membuka pintu, hanya kata-kata hujatan yang terucap dalam hatiku karena tidak kuat menahan sakit yang teramat sangat.
Aku langsung mencari jalanku menuju dapur untuk mengambil satu box obat-obatan, kupikir dengan meminum panadol ekstra rasa sakit ini akan berakhir. Satu keping telah masuk ketubuhku bersama air yang membawanya masuk. Aku berjalan sempoyongan menuju kamar tidur dan berusaha untuk istirahat untuk beberapa waktu.
Aku berbaring di atas kasurku, menutup kepalaku dengan bantal yang ada disampingku, sambil terus menahan rasa sakit yang makin bertambah. Aku paksa dua mataku untuk terpejam, memaksa otak untuk tidak berpikir dan berharap segera terlelap. Akan tetapi sakit ini semakin parah dan tidak bisa lagi kutahan.
Ruang sangat gelap, tidak ada lampu yang menyala, badanku mulai menggigil padahal sudah mengenakan selimut diatasku. Saat itu tidak ada satupun orang dirumah, aku meronta-ronta dan menelpon orang-orang rumah tetapi masih tidak ada jawaban. Sampai suatu ketika, pikiranku terasa kosong, dan aku tidak bisa mengingat apa-apa.
Aku benar-benar tidak bisa berpikir, kukira hanya pusing saja, tapi ternyata aku memang tidak bisa lagi mengingat. Apa yang akan aku lakukan dan apa yang mau aku lakukan. Aku benar-benar hilang seakan ditelan kegelapan. Saat itu yang aku lakukan hanya memanggil-manggil ibuku untuk cepat pulang. Aku tak tau apa yang terjadi padaku, dan disaat yang bersamaan azan isa berkumandang. Aku tidak tau apa yang mau kulakukan, tapi yang pasti aku harus datang mengikuti suara itu.
Motor kembali kunyalakan, aku berjalan mengikuti suara, dan berharap mendapati seseorang yang kukenal disana. Saat itu solat sedang berlangsung, aku langsung mengambil air wudu dan ikut solat dibelakang. Aku tak tau apa yang kulakukan, aku hanya mengikuti instingku, aku tak tau apa yang aku baca, dan hanya terucap begitu saja. Baru ini aku sadar, apa yang biasa kamu lakukan maka itu akan melekat padamu tanpa kamu harus berpikir apa yang kamu lakukan.
Dalam solat, sambil menahan sakit aku menoleh kanan kiri untuk menemukan orang yang aku kenal. Aku sangat gugup dan takut tak bisa mengingat satupun mengenai diriku. Hingga solat berakhir, aku langsung berdiri, berjalan mendekati satu persatu orang dan memperhatikan setiap wajahnya, apakah ada orang yang aku tau. Sampai aku melihat satu wajah tak asing, berbadan se bahuku, menggunakan baju muslim berwarna kuning dan peci. Aku mendatanginya dan melihat wajahnya dari dekat. Sepertinya aku mengenalnya. Aku menghampirinya dan bertanya padanya “kamu siapa ya?”. Aku melihat anak itu melihatku dengan raut wajah yang aneh. Dan dia pun menjawab “aku ata, aku adekmu”. “astagfirullah alazim” ternyata itu adeku dan aku benar-benar tidak mengenalnya. Aku ingin menangis mengenai apa yang terjadi padaku.
Saat itu pula aku bertanya pada dia, “mama mana? Mama mana?” sambil menahan tangisku. “mama masih ditertip, ayo sudah pulang aja”. Dia menggandengku, mukanya langsung berubah pucat dalam sekejap, terlihat ketakuan dalam raut wajahnya. Aku berjalan bersamanya keluar masjid, dia gugup sekali dan mengatakan kepadaku “kita datangin pak kasman aja”. Aku langsung menjawab “siapa pak kasman?”. “dia ustad, ayo sudah”. Dalam hati aku trus beristigfar, aku masih belum bisa mengingat dengan baik, aku takut semua ingatan-ingatan yang ada padaku hilang begitu saja.
Hingga bertemu dengan pak kasman, aku didudukkan diteras luar masjid, orang-orang masih bershalawat dan membaca doa. Pikiranku benar-benar kosong aku hanya melamun dan tak bisa mengingat apa-apa. Sampai ditanya “kamu kenapa?”. Pertanyaan yang sederhana, tapi baru kali ini sangat sulit dijawab. “aku kan dari kantor, terus ya itu terus” aku sangat gugup aku tidak bisa menyampaikan dengan baik.
“aduh kakiku, aduh tanganku” ucapku mengejutkan. “loh kenapa?”. Pertanyaan ini lagi yang terlontar, mengapa? Berarti harus dijelaskan. Aku benar benar tidak dapat menjelaskannya apa yang aku rasakan, hanya berusaha mencari kata dalam pikiranku dan menyampaikan kepadanya agar dia mengerti. “itu, apa itu, kalo berenang terus sakit”. “keram kah?”. Aku kembali beristigfar, kata keram saja aku tidak bisa mengingatnya. Kemudian ia membisikkan ditelingaku, “ayo istigfar, coba istigfar”. Aku terus beristigfar dalam hati, menahan sakit kepala dan keram pada kedua kaki dan tanganku. Aku benar-benar gugup, pucat dan benar-benar seperti orang gila. Raut muka orang-orang yang melihatku juga terlihat sangat pucat, malam itu benar-benar mengerikan.
Adekku berusaha menghubungi mamaku, tangisnya pecah dan sangat takut melihat apa yang terjadi padaku. “maa, koko maa” itu saja yang bisa aku dengar. Dua orang kemudian mendatangiku, dia bertanya apa yang terjadi padaku. Aku hanya melamun tidak bisa menjelaskan sama sekali. Yang terbersit dalam hatiku, apakah ini akan menjadi akhirku. Aku benar-benar sangat sombong dan angkuh beberapa tahun ini, merasa semuanya aku punya dan selalu berpaling dari allah. Aku punya kepintaran, pacar, uang, video game, semua nikmat dunia aku punya. Dan aku hanya melamun, bagaimana semua nikmat ini dicabut hanya satu malam saja, jika kemudian dibutakan semua pikiranku dan tidak dapat mengingatnya, Apa yang aku punya kini tidak ada artinya.
Aku hanya melamun saja, benar-benar kosong tak ada yang bisa lagi aku ingat. Dua orang tadi kemudian memijit-mijit kaki dan kepalaku. Aku hanya terus melamun dan semakin dalam menuju kehampaan. Sampai ibu dan bapakku datang, “kamu kenapa”. Aku hanya diam saja dan tak menjawab. Ibu dan bapakku langsung panik, aku melihat ke arah mata mereka yang berkaca-kaca. Dalam hatiku aku meminta maaf, aku benar-benar belum bisa membahagiakan meraka, aku adalah anak pertama, tapi aku mengecewakan mereka.
Kemudian kembali lagi, “aduh kakiku aduh tanganku”. Orang-orang disekitarku kembali terkejut, bapak yang memijitku juga terlihat kaget dan terus berbisik dalam beristigfar. “waduh bu, ini kakinya makin keras bu, bawa kerumah sakit aja bu” ucap bapak yang memijit kakiku. Bapakku pulang untuk mengambil kunci mobil dan membawaku kerumah sakit yang terdekat. Aku hanya bisa melamun saja, dan berusaha mengingat-ngingat. Saat itu, pacarku pun aku tidak mengetahui namanya.
Sepanjang perjalanan, aku hanya diam dan terus bertanya dalam hati, kapan ini berakhir, apakah aku akan terus begini?. Dalam perjalanan ibuku menyuapiku roti, aku hanya melamun saja dan mengigit satu atau dua kali untuk mengisi perutku yang kosong.
Tiba dirumah sakit, aku berjalan dengan susah payah, kedua kakiku terasa kaku untuk digerakkan. Aku langsung dilarikan keruang UGD, tepat di tempat pacarku dahulu saat sakit ditempatkan. Aku hanya melamun saja, berusaha mengais-ngais ingatanku, alat bantu pernapasan dikenakan padaku, dan suster berusaha mendapatkan informasiku mengenai apa yang terjadi. Aku berusaha menjawab sebisaku, ia mengecek tekananku dan semua kondisi badanku. “normal aja kok semuanya” ucap perawat itu. Aku hanya bisa diam saja, sambil menatap mata ibu yang benar-benar ketakutan. Matanya semakin berkaca-kaca saat melihatku, aku hanya bisa tersenyum untuk menenangkan hatinya. Aku berusaha memanggil ibuku didekatku dan berkata, “maafkan aku ya ma, belum bisa kasih apa-apa”. ibuku berkata “sudah-sudah istirahat aja, kamu gapapa, istigfar aja”. Aku merasa benar-benar tak berguna malam itu.
Aku hanya bisa melamun malam itu, dan hanya bisa pasrah saja mengenai apa yang terjadi padaku. Aku hanya bisa menagis dalam hati dan berusaha mengingat-ngingat kesalahan-kesalahan apa yang telah aku lakukan dahulu. Aku memiliki pacar yang sangat baik dan tulus, tapi apa yang bisa ia berikan disaat aku seperti ini? Tak ada yang dapat menolongku, bahkan orang tuaku sekalipun. Malam itu aku benar-benar bertekad akan berubah menjadi lebih baik, dan terus berusaha melawan hatiku, sampai pada akhirnya “aku harus sudahi perasaan ini”
Setelah aku berkata dalam hati, pikiranku perlahan-lahan kian membaik. Aku sudah bisa berbicara dengan kata-kata yang terstruktur kembali. Dokter juga bingung mengenai apa yang terjadi padaku dan belum dapat mendiagnosa penyakitku. Aku hanya dipulangkan malam itu dan beristirahat dipangkuan ibu.
Beginilah bagaimana kematian suatu saat akan memperingatkanmu, dia tidak akan mau tau disaat kamu jaya atau terpuruk, bahagia atau sedih, miskin atau kaya, jika saatnya tiba dia takkan ragu-ragu untuk menjemputmu. Sekuat apapun kamu menghindar, dia akan mengejarmu sampai plosok dunia. Kematian itu pasti, tapi waktunya tidak ditentukan. Itulah ceritaku, dan berharap menjadi pelajaran bagi siapa saja yang mencari makna kehidupan. “jadi, apa kamu masih mau memusuhinya?”
0 comments:
Post a Comment